Saturday 25 June 2011

AN APPROACH TO THE STUDY OF RELIGION

There is a crucial question about the study of religion. The question is “Is it possible to study religion scientifically?” Religion is a social phenomenon as are politics, economics, psychology, anthropology and the like. These social sciences can be studied scientifically, so can religion. Religion is a universal phenomenon and is the most important ingredient in the study of human life.

There are two approaches to the study of religion. These approaches are linked through the unbroken line of the two extremes. The first approach is normative and the other is descriptive. The normative approach is based on the criteria of what is true and good and what is bad, what one ought to do and ought not to do. This is based on the personal internal experiences of the religion founder or the messenger in contact with the divinity; the transcendental experience. This approach can be looked at two ways. The first one is theology, that is an attempt to give a systematic traditional expression of religious experience. In Islam it is called the “aqa’id”, something which must be accepted and believed. The second way is religious ethics or moral behaviour: how to act with one’s fellow man. The second approach is descriptive which is based on intellectual curiosity rather than on belief.


study of religion

There are a number of disciplines which will help in understanding religion. The first is the history of religion: looking at religious behaviour historically. The second is the psychology of religion: understanding the mental process and feeling of religious people, and the last is the sociology of religion: trying to understand how religious groups organized themselves, the role of religious institutions, religious leaders, law, and the state. Using the descriptive approach, it is possible to study religion scientifically.

(Adapted from a lecture by Prof. Dr. Charles J. adams)
Read also Rekonstruksi Makna Jihad
Read more ...

Sunday 19 June 2011

EQUALITY IN ISLAM

Islam considers all human beings as equal. There is no difference between them because of race, colour, or tongue. All of them belong to one family and come from origin.

This was not the case before Islam came to the Arabian peninsula. Before Islam, each tribe considered its members to be superior to those of other tribes, and this made life very difficult between them. They could not deal with each other properly, and they led a difficult life; there was severe fighting almost continuously between the tribes of Arabia because of their attitude towards one other. Might was right, so the weak had practically no rights.

When Islam came, it was a long step towards correcting the attitudes of the Arab people, and making them aware of their brotherhood with others. The poorer people and the humbler tribes were quick to follow the Prophet because they saw in Islam a hope of leading a good life, for in Islam they heard something they had never heard before. The voice they heard gave them hope that people could live as equal human beings.

But at the same time, their accepting Islam was a reason for the leaders of the tribes to object to the call of the Prophet, because it was hard for them to consider these weaker people as their brothers.


equality Islam

The Prophet himself emphasized this by his actions and his behaviour, by treating all human beings as his equals, even his slaves. There is an interesting story about this. It is related that the Prophet’s wife, Khadija had a slave called Zaid, whom she gave to the Prophet to help him with his personal affairs. The Prophet treated him as his son, and the youth never left he was a slave. According to the law of Arabia before Islam, when war broke out between two tribes the winner could take the women and children of the defeated tribe as slaves. Zaid had become a slave on one of these occasions, and he moved from one hand to another until finally he reached the hand of the Prophet. His father and uncle were looking for him every where. At last they discovered that he was in Mecca with the Prophet Muhammad, and they went to Mecca and asked the Prophet to return Zaid to them.

They offered the Prophet whatever he wanted as exchange for the boy. When the Prophet heard this, he called Zaid to him and said: “This is your father, and this is your uncle.”

Zaid recognized them, and said he knew who they were. The Prophet said: “If you want to go with him, you are free to go, and if you want to stay, you are welcome to stay.” The Prophet left the choice with the boy, and what Zaid answered astonished his father and his uncle: Zais refused to go with them, and said to the Prophet: “I will never prefer anyone to you, not even my father.” His father and uncle were surprised and annoyed, and said: “What are you saying, Zaid, do you prefer slavery to freedom?”
“No,” said Zaid, “but there is no one who could treat me like the Prophet treats me!”

When the Prophet saw that, he wanted to please the father and uncle of Zaid, and he went out in public and announced that Zaid was not his slave, but his son. This shows us the new system the Prophet introduced among Arabic people, with equality for each man, no matter what his tribe or colour.
Read also An Approach to The Study of Religion
Read more ...

Friday 17 June 2011

SEJARAH TERJADINYA PERANG JAGARAGA

Sejarah terjadinya Perang Jagaraga dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan sejarah terjadinya Perang Jagaraga yang terjadi di Pulau Bali pada tahun 1846 – 1849. Semenjak dahulu Belanda berhasrat untuk menanamkan kekuasaannya di Pulau Bali. Hasrat tersebut belum dapat terpenuhi karena Belanda belum menemukan alasan yang kuat untuk menyerang pulau Bali. Waktu itu di Pulau Bali terdapat kerajaan-kerajaan, yaitu : Buleleng, Karangasem, Gianyar, Klungkung, Tabanan, Badung, Mengwi, Jembrana, dan Bangli.

Sejak zaman dahulu, di Pulau Bali berlaku suatu hukum adat yang disebut hak tawan karang, yaitu : bila ada suatu kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali, muatan kapal beserta penumpangnya menjadi milik raja setempat. Kapal-kapal Belanda banyak yang melalui perairan di Pulau Bali. Dengan adanya hak tawan karang itu Belanda menganggap membahayakan bagi keselamatan harta bendanya beserta awak kapalnya.

Oleh karena itu, pada tahun 1839 Belanda mengadakan perjanjian dengan semua raja di Pulau Bali agar hak tawan karang itu dihapuskan. Sebagai gantinya Belanda akan membayar sejumlah uang untuk setiap kapal yang terdampar di pantai Pulau Bali. Akan tetapi kenyataannya janji Belanda itu tidak pernah ditepati. Pada tahun 1844, raja Buleleng merampas kapal Belanda yang secara kebetulan terdampar di Pantai Buleleng. Belanda mengadakan ultimatum agar muatan kapal yang terdampar itu dikembalikan kepada Belanda. Karena ultimatum itu tidak dihiraukan oleh raja Buleleng maupun oleh patihnya yang bernama Gusti Ktut Jelantik, maka terjadilah perang yang disebut Perang Buleleng. Pada akhir Juni 1846 Belanda mengerahkan angkatan darat dan angkatan laut untuk menyerang Buleleng. Walaupun raja Buleleng mendapat bantuan dari raja Karangasem—karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap dan modern—pasukan Belanda berhasil dapat merebut benteng dan menduduki keraton.

sejarah perang jagaraga, perang jagaraga

Dalam perkembangan selanjutnya raja Buleleng dan raja Karangasem terpaksa menandatangani perjanjian, yang isinya :


Raja Buleleng dan raja Karangasem menyatakan bahwa daerah-daerahnya merupakan bagian dari Hindia Belanda.
Raja Buleleng dan raja Karangasem tidak boleh mengadakan hubungan dengan bangsa Eropa,kecuali dengan bangsa Belanda.
Hak tawan karang raja-raja Bali harus dihapuskan.

Setelah Belanda mengadakan perjanjian tersebut, pasukannya banyak yang ditarik kembali ke Pulau Jawa. Sebab Belanda mengira sudah berhasil menundukkan Bali. Ternyata perkiraan Belanda itu meleset. Sebab hak tawan karang diberlakukan lagi oleh raja-raja Bali. Untuk menghadapi Belanda, raja Karangasem, Buleleng, dan Klungkung bersatu untuk menghimpun kekuatan. Mereka memusatkan pertahanannya di Benteng Jagaraga.
Setelah Belanda mendengar berita bahwa hak tawan karang diberlakukan lagi, maka pada tahun 1849 Belanda mengirimkan pasukannya ke Bali di bawah pimpinan Jenderal Miechiels, dengan tujuan menghancurkan Benteng Jagaraga yang dipertahankan oleh Gusti Ktut Jelantik. Pasukan Belanda ternyata tidak berhasil menggempur Benteng Jagaraga, karena jumlah pasukan dari ketiga kerajaan tersebut lebih besar. Maka Belanda kembali ke Batavia untuk mendatangkan pasukannya yang jumlahnya lebih besar dari pasukan ketiga kerajaan tersebut.
Pada pertengahan April 1849 Belanda menyerang Bali dengan pasukan yang lebih besar. Pasukan Karangasem, Buleleng, dan Klungkung walaupun berjuang dengan gigih masih terdesak juga oleh Belanda. Bahkan Benteng Jagaraga yang menjadi pusat pertahanan raja-raja Bali berhasil direbut oleh Belanda. Dengan demikian Bali Utara dapat dikuasai oleh Belanda, tetapi Bali Selatan belum bisa ditundukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, serangan Belanda diteruskan ke selatan. Raja Karangasem mengadakan puputan, yaitu : perlawanan sampai mati oleh seluruh keluarga kerajaan beserta pengikut-pengikutnya.

Setelah Belanda berhasil menguasai Karangasem, lalu meneruskan serangannya ke Klungkung. Meskipun Benteng Kusumba dipertahankan secara mati-matian, pada akhirnya dapat juga direbut oleh Belanda. Dalam pertempuran untuk merebut Benteng Kusumba, Jenderal Miechiels tewas. Dengan tewasnya Jenderal Miechiels, serangan Belanda terhadap raja-raja di Bali yang belum tunduk menjadi dahsyat lagi. Raja-raja yang belum tunduk itu, dipaksa oleh Belanda untuk menandatangani suatu perjanjian yang berisi :
Raja-raja Bali harus bersedia menerima kedatangan Belanda di Bali.
Raja-raja Bali tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan lain.
Demikianlah sejarah terjadinya perang jagaraga. Semoga bermanfaat.  
Silahkan baca juga Terapi Akal Sehat Sejarah


 
  


 
 
    Read more ...

    Friday 10 June 2011

    SEJARAH TERJADINYA PERANG PADRI

    Sejarah terjadinya Perang Padri dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan tentang sejarah terjadinya Perang Padri. Perang padri yang berlangsung di Sumatera Barat dalam abad ke-19 dibagi menjadi:
    - Perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat (1803 – 1821)
    - Perang antara Kaum Padri melawan Belanda (1821 – 1837)

    A.  Perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat
    Perang antara kedua kaum tersebut merupakan perang saudara, yaitu perang antara sesama rakyat Minangkabau karena adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran agama Islam. Pada permulaan abad ke-19, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piabang. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari). Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
    sejarah perang padri, perang padri

    Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Pemimpin-pemimpinnya sebagai berikut:
    Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
    Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
    Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Pidari dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal, perjuangan kaum Pidari dilanjutkan oleh Datuk Malim Basa, yang kemudian terkenal dengan nama Imam Bonjol karena berkedudukan di Bonjol.

    Dalam perang itu, kaum Pidari mendapat kemenangan di mana-mana. Kedudukan kaum Adat makin terdesak, sehingga kaum Adat meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat). Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.

    B. Perang antara Kaum Padri melawan Belanda
    Sejak tahun 1821 merupakan awal perang padri melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme. Perang ini dibagi menjadi dua periode, yaitu:
    - Periode I (Tahun 1821 – 1825)
          - Periode II (Tahun 1830 – 1837)


    a. Periode I (Tahun 1821 – 1825)
    Belanda mengirimkan pasukannya ke Semawang dan beberapa minggu kemudian terjadilah pertempuran di Sulit Air (mulailah perang padri). Belanda mendirikan dua benteng, yaitu: Benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dan Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.

    Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air. Akhirnya pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari di Masang, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing.

    Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya masuk ke daerah kaum Pidari. Maka terjadi pertempuran lagi antara kedua belah pihak. Sementara di Sumatera Barat berkobar perang Padri, di Jawa Tengah meletus Perang Diponegoro. Kedudukan Belanda bertambah sulit, sebab terpaksa mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk menghadapi Perang Diponegoro. Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
    Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
    Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari pengungsian.


    Belanda mengikat perjanjian tersebut karena pasukannya ditarik seluruhnya untuk menghadapi Perang Diponegoro.
      
    b. Periode II (Tahun 1830 – 1837)
    Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode kedua, karena Belanda memungkiri Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.

    Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
    - Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
    - Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.

    Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et empera). Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya—yang menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro—ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke Bangkahulu.

    Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
    Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
    Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
    Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
    Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.


    Selanjutnya Belanda tetap berusaha untuk memperluas daerahnya. Setapak demi setapak Belanda dapat menundukkan pertahanan kaum Pidari termasuk pertahanan kaum Pidari di Bonjol (1837), tetapi Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya dapat meloloskan diri, dan meneruskan perjuangannya di daerah lain.

    Sejak itu perlawanan rakyat Minang makin lama makin menurun, daerah kekuasaan Belanda makin meluas, dan daerah kaum Pidari makin menyempit. Akhirnya Belanda mengirimkan utusan untuk menyampaikan janji-janji kepada Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol—ketika menjumpai panglima pasukan Belanda—ditangkap dan dipenjarakan di Cianjur, lalu dibuang ke Ambon, akhirnya dipindahkan ke Menado dan wafat pada tanggal 6 November 1864. Dengan tipu muslihatnya, Belanda akhirnya dapat menghentikan Perang Padri dan menguasai Sumatera Barat. 
    Demikianlah sejarah terjadinya Perang Padri. Semoga Bermanfaat.
    Silahkan baca juga Sejarah Terjadinya Perang Jagaraga













    Read more ...

    Friday 3 June 2011

    FILSAFAT KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW

    Filsafat kerasulan Nabi Muhammad saw. dalam artikel ini mencoba menguraikan tentang hikmah kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui dalam buku-buku sejarah kebudayaan Islam atau sejarah peradaban Islam bahwasanya umat manusia berada dalam lembah kegelapan ketika Muhammad dilahirkan. Pada saat itu, ada dua kerajaan besar yang menguasai sebagian besar umat manusia : kerajaan Romawi dan Persia. Kerajaan Romawi menguasai sebagian besar bangsa-bangsa Barat. Sedangkan kerajaan Persia menguasai senagian besar bangsa-bangsa Timur. Kedua kerajaan tersebut dikuasai oleh para pemimpin yang suka menumpuk kehormatan dan kekayaan material, sementara rakyatnya dibiarkan dalam kesengsaraan. Rakyat dibebani pajak yang tinggi, tanpa belas kasihan dari para penguasanya. Pembunuhan terjadi di mana-mana, rakyat berada dalam keadaan rasa takut.

    kerasulan Nabi Muhammad saw

    Bangsa Arab saat itu belum berada di bawah salah satu dari dua kerajaan besar dunia pada zamannya itu. Namun demikian, mereka selalu dalam persengketaan antar kelompok, pembunuhan dan perampokan pun merajalela di mana-mana. Bahkan siapa yang dapat melakukan pembunuhan dan perampokan, dia akan dijadikan simbol kebanggaan oleh kelompoknya. Anak gadis dianggap anak pembawa petaka sehingga mereka dibunuh hidup-hidup dengan alasan khawatir di kemudian hari berbuat zina dan mempermalukan keluarga. Keadaan bangsa Arab saat itu memang amat terbelakang dan kasar.

    Kehidupan keagamaan dan kepercayaan bangsa Arab di kala itu masih terdiri atas berbagai macam kepercayaan dan faham : aliran yang menyembah hewan, batu, api, bintang-bintang di langit, dan sebagainya. Sisa-sisa agama tauhid yang dibawa oleh para Nabi terdahulu tinggal sedikit jumlahnya. Bahkan di kalangan penganut agama tauhid itu pun telah diresapi oleh berbagai perubahan dan penambahan di sana sini. Berbagai bentuk bid’ah pun tumbuh subur dan terjadilah peperangan yang ditimbulkan karena masing-masing mempertahankan faham kepercayaannya.

    Dalam situasi seperti terlukiskan di atas itulah Nabi Muhammad saw. diutus Allah swt. Nabi Muhammad saw. berasal dari kelompok suku bangsa Arab yang terpandang dan paling dihormati pada zamannya. Sejarah membuktikan bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. membawa kedamaian dan kemajuan umat manusia pada zamannya serta mengilhami kedamaian dan kemajuan umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia.

    Melihat kenyataan sejarah seperti terlukiskan  di atas, kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad saw. di jazirah Arab adalah suatu kemestian sejarah sejalan sejalan dengan kehendak Tuhan. Kelahirannya di Mekah, dan dakwahnya di Mekah yang kemudian dilanjutkan di Madinah adalah suatu hal yang sesuai pula dengan situasi dan kondisi zamannya yang memberi kemungkinan yang amat besar untuk menjadikan Islam yang dibawanya menjadi agama dunia yang universal.

    Rekonstruksi sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pada pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat telah berpindah dari jalur Teluk Persia-Eufrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Nil di Selatan, ke jalur baru : Yaman-Hijaz-Syiria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Romawi (Bizantium) dan Persia telah membuat jalur Utara tidak lagi aman dan tidak menguntungkan bagi perdagangan. Mesir—mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Bizantium dengan Persia—berada dalam kekacauan yang mengakibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan Nil (jalur Selatan) tidak menguntungkan pula. Dengan perpindahan perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, maka Mekah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Para pedagang pergi ke Selatan untuk membeli barang-barang yang datang dari Timur, kemudian mereka bawa ke Utara untuk mereka jual di Syiria.

    Kota Mekah menjadi kota yang kaya karena memperoleh hasil yang besar dari perdagangan transit. Penduduknya adalah orang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat. Pemerintahan Mekah terletak di tangan suku Quraisy yang dijalankan melalui majelis suku bangsa yang angota-angotanya terdiri-dari kepala-kepala suku yang dipilih berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat. Kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk kepentingan-kepentingannya mempunyai perasaan solidaritas yang kuat. Solidaritas itu kelihatan efektif dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Pada tahun 622 M, karena tekanan dari para pemuka suku Quraisy ini, Nabi Muhammad saw. bersama para pengikutnya meninggalkan Mekah berhijrah ke Yatsrib (Madinah).

    Suasana masyarakat di Yatsrib berlainan dengan suasana di Mekah. Yatsrib bukanlah kota dagang, melainkan kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri atas bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arabnya terdiri atas dua suku bangsa : Aus dan Khazraj. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terjadi persaingan untuk menjadi kepala dalam masyarakat Yatsrib, kota yang kemudian disebut kota Madinah. Ketidakamanan yang ditimbulkan oleh perselisihan antar dua kelompok tersebut terus berlarut-larut sehingga membutuhkan seorang hakam, yakni seorang arbiter yang netral dan adil.

    Ketika pemuka-pemuka dan suku bangsa tersebut di atas naik haji ke Mekah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad saw. Dalam suatu perjumpaan dengan Nabi Muhammad saw., pemuka suku Aus dan Khazraj meminta Nabi Muhammad saw. untuk pindah ke Yatsrib. Melihat kerasnya tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad saw. di kota Mekah, akhirnya Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Yatsrib. Di kota inilah Nabi Muhammad saw. menjadi hakam bagi kedua suku yang selalu bersengketa. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Madinatul al-nabi (kota Nabi). Di kota inilah Nabi Muhammad saw. menjadi kepala masyarakat Madinah. Bahkan kemudian Nabi Muhammad saw. dikenal sebagai Kepala Negara Madinah.

    Dengan demikian, Nabi Muhammad saw. telah mempersiapkan suatu tatanan masyarakat baru dengan seperangkat peraturan perundang-undangan dan pranata-pranata sosial yang memungkinkan berkembangnya suatu masyarakat sesuai dengan alur perkembangan sejarah umat manusia. Suatu indikator universalitas agama yang didakwahkannya. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir merupakan kehendak Ilahi. Demikianlah uraian tentang filsafat kerasulan Nabi Muhammad saw. Semoga bermanfaat.
    Silahkan baca juga Equality in Islam
    Read more ...
    Designed By Blogger Templates